Ikut Suami ke Australia

Bulan November 2014.

Sebulan sebelumnya adalah awal mula perjalanan baru saya dan orang yang saya panggil suami.

Seminggu sebelumnya, adalah vonis yang dikeluarkan oleh dokter kandungan bahwa akan sulit bagi saya dan suami untuk punya buah hati.

Empat bulan sebelumnya, saya dan (sekarang) suami mendaftar s2, mencoba meraih mimpi kami untuk mengemban ilmu di negeri kangguru.

Pagi itu, saya dan suami ke dokter kandungan. Bukan untuk konsultasi awal kehamilan, namun untuk membahas bagaimana menghilangkan kista yang tengah saya derita.

Takdir tiada yang tahu, saat itu malah dokter menyampaikan bahwa saya tengah hamil 5 minggu. Mengejutkan tentunya, mengingat tepat seminggu sebelumnya dokter mengatakan saya belum hamil dan akan sulit hamil dengan kondisi kista saat itu. Malah, dokter sudah membahas operasi yang kemungkinan harus saya jalani untuk bisa menghilangkan kista.

Berita kehamilan ini tentunya membuat saya dan suami terkejut, sekaligus senang. Alhamdulillah, alhamdulillah.

Tak selang berapa lama, saya mendapatkan telpon dari agen pendidikan Australia. Kami di terima di universitas pilihan kami. After waiting for several months.

Saat itu ada 2 universitas yang menerima kami, satu di Melbourne, dan satu di Brisbane. Melbourne, tentunya dengan biaya hidup lebih mahal, dan fasilitas kesehatan yang belum mencover kehamilan (ada masa tunggu 1 tahun), namun memiliki fasilitas yang lebih untuk jurusan yang akan kami ambil. Brisbane, kebalikannya. Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk mengambil Brisbane, dengan pertimbangan fasilitas kesehatan untuk kehamilan lebih baik (tidak ada masa tunggu untuk kehamilan).

Nekat. Itu satu-satunya modal kami saat itu. Tidak terbayang apa yang akan terjadi di negeri sebrang sana. Saya, sambil kuliah, mengandung buah hati pertama kami, dan suami juga kuliah. Di negeri sebrang, kami tau tidak akan ada orang tua, tidak akan ada sanak saudara. Hanya akan ada kami berdua (bertiga dengan yang di perut).

Demi masa depan. Itu yang selalu saya ucapkan kepada suami. Demi menggapai cita-cita, walaupun kami masih belum pasti apa cita-cita kami.

Leave a comment